Lebih dari 15.000 warga Pulau Gili Ketapang, Kecamatan Sumberasih, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, menghadapi krisis air bersih yang sudah berlangsung hampir sebulan terakhir. Krisis ini dimulai sejak 7 November 2024, ketika pipa bawah laut yang biasa menyuplai air ke pulau tersebut mengalami kerusakan. Akibatnya, warga terpaksa mencari sumber air alternatif untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Table of Contents
TogglePenyebab Krisis Air Bersih
Krisis ini bermula dari kerusakan pada pipa bawah laut yang menghubungkan suplai air dari daratan ke Pulau Gili Ketapang. Sistem tersebut menjadi andalan utama warga untuk mendapatkan air bersih. Ketika pipa tersebut tidak berfungsi, akses terhadap air bersih langsung terputus, sehingga memaksa warga mencari solusi lain.
Monir, Kepala Desa Gili Ketapang, mengungkapkan bahwa pada minggu-minggu awal, beberapa warga masih mampu membeli air dalam bentuk kemasan. Namun, memasuki minggu ketiga, semakin banyak warga yang kesulitan membeli air karena keterbatasan biaya.
“Minggu pertama setelah terputusnya pipa PDAM, warga masih bisa membeli air kemasan. Tapi setelah tiga minggu, situasinya semakin sulit karena banyak yang tidak mampu lagi membeli,” kata Monir pada Minggu (01/12/2024).
Bantuan dari Berbagai Pihak
Dalam menghadapi krisis ini, berbagai pihak telah memberikan bantuan. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Probolinggo termasuk yang aktif mengirimkan air bersih ke pulau melalui kapal. Selain itu, organisasi kemanusiaan dan komunitas lokal juga turun tangan memberikan bantuan.
“Sumbangan air bersih terus berdatangan. Minggu ini kami menerima kiriman air melalui kapal dari BPBD Kabupaten Probolinggo. Bantuan ini sangat membantu warga yang sedang kesulitan,” ujar Monir.
Namun, meskipun bantuan terus mengalir, jumlahnya belum cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh warga pulau. Keterbatasan logistik dan sulitnya akses ke pulau menjadi tantangan utama dalam mendistribusikan air bersih secara merata.
Dampak pada Kehidupan Warga
Krisis air bersih ini berdampak besar pada kehidupan sehari-hari warga. Air yang terbatas tidak hanya memengaruhi kebutuhan minum, tetapi juga keperluan memasak, mencuci, dan sanitasi.
Sebagian besar warga terpaksa menggunakan air dari sumber lokal seperti sumur atau membeli air dari pedagang dengan harga yang jauh lebih mahal. Hal ini menambah beban ekonomi, terutama bagi keluarga kurang mampu.
Seorang warga, Rahma (37), mengungkapkan kekhawatirannya terhadap situasi ini:
“Kami harus menghemat air sebaik mungkin. Kalau tidak, kami tidak tahu harus mendapatkan air dari mana lagi. Apalagi untuk keluarga besar, situasi ini benar-benar sulit.”
Upaya Jangka Panjang
Monir menyatakan bahwa pihak desa dan pemerintah daerah sedang berusaha mencari solusi jangka panjang untuk mengatasi krisis ini. Salah satu langkah yang direncanakan adalah perbaikan pipa bawah laut agar pasokan air bersih dapat kembali normal.
Namun, hingga saat ini belum ada kepastian kapan perbaikan pipa tersebut dapat selesai. Sementara itu, warga berharap bantuan air bersih terus berdatangan hingga situasi membaik.
Seruan Solidaritas
Krisis ini menggambarkan betapa pentingnya solidaritas dalam menghadapi situasi darurat. Bantuan dari pemerintah, organisasi kemanusiaan, dan masyarakat sangat dibutuhkan untuk meringankan beban warga Gili Ketapang.
Semoga upaya perbaikan segera terealisasi dan pasokan air bersih kembali normal, sehingga warga Pulau Gili Ketapang dapat menjalani kehidupan mereka tanpa harus terus-menerus menghadapi krisis air. Dukungan dan perhatian dari berbagai pihak menjadi kunci untuk mengatasi permasalahan ini.